Oleh Prof. Dr. Arief Budiman
Belakangan ini istilah Industri 4.0 santer menghiasi media massa maupun media sosial. Ada yang menyebut dengan era disrupsi. Atau situasi dimana pergerakan dunia industri tidak lagi linier. Bahkan berlangsung sangat cepat dan cenderung mengacak-acak pola tatanan lama, dan cenderung membentuk pola tatanan baru. Sebagai catatan, revolusi industri telah terjadi empat kali. Pertama dengan penemuan mesin uap, kedua elektrifikasi. Ketiga penggunaan komputer, dan keempat revolusi era digital ini.
Kondisi yang saling mendisrupsi ini bisa terjadi karena pesatnya perkembangan teknologi digital. Seperti kecerdasan buatan (artificial intelligent). Yang jika dipadukan dengan internet of thing (IoT) akan mampu mengolah jutaan data (big data) menjadi suatu keputusan atau kesimpulan. Jadi jangan heran jika salah satu media sosial diprotes banyak pihak saat pelaksanaan pemilu di AS beberapa waktu yang lalu. Karena disinyalir memberikan data ke salah satu kontestan. Dan dengan teknologi digital, data tersebut akan dianalisis dan hasilnya dipakai untuk mengatur strategi pemenangan.
Istilah Revolusi Industri 4.0 pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Seorang ekonom terkenal asal Jerman yang menulis dalam bukunya: The Fourth Industrial Revolution. Sebenarnya beberapa negara juga mempunyai roadmap digitalisasi industri yang serupa. Seperti, China dengan Made in China 2025, Asia dengan Smart Cities. Dan Kementerian Perindustrian juga mengenalkan Making Indonesia 4.0, yang pada bulan April 2018 dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.
Sebagai masyarakat awam, efek kondisi Industri 4.0 telah kita lihat dan rasakan. Belakangan, muncul model-model bisnis baru dengan strategi yang lebih inovatif. Ambil contoh, GO-JEK sebuah perusahaan yang tidak mempunyai armada, namun mempunyai nilai valuasi 12 kali dibanding Garuda. Fenomena serupa juga terjadi di dunia perbankan. Beberapa profesi seperti teller bank, analis kredit, agen asuransi, kasir, resepsionis akan hilang dan digantikan oleh ponsel pintar. Akibatnya, berimbas pula pada tatanan sosial masyarakat.
Pada tanggal 21 Januari 2019, secara mengejutkan Kantor PM Jepang meluncurkan roadmap yang lebih humanis, dikenal dengan super–smart society atau Society 5.0. Yang merupakan tatanan masyarakat yang berpusat pada manusia (human–centered) dan berbasis teknologi (technology based). Sebagai catatan, Society 5.0 didahului dengan era berburu (Society 1.0), pertanian (Society 2.0), industri (Society 3.0), dan teknologi informasi (Society 4.0)
Melalui Society 5.0, kecerdasan buatan yang memperhatikan sisi kemanusiaan akan mentransformasi jutaan data yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan. Tentu saja diharapkan, akan menjadi suatu kearifan baru dalam tatanan bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri, transformasi ini akan membantu manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Dalam Society 5.0, juga ditekankan perlunya keseimbangan pencapaian ekonomi dengan penyelesaian problem sosial.
Dalam Industri 4.0, dikenal adanya cyber–physical system (CPS) yang merupakan integrasi antara physical system, komputasi dan juga network/komunikasi. Dan Society 5.0 merupakan penyempurnaan dari CPS menjadi cyber–physical–human systems. Dimana human (manusia) tidak hanya dijadikan obyek (passive element), tetapi berperan aktif sebagai subyek (active player) yang bekerja bersama physical system dalam mencapai tujuan (goal). Jadi interaksi antara mesin (physical system) dan manusia masih tetap diperlukan. Walaupun Society 5.0 hanya untuk masyarakat dan industri di Jepang, namun patut kita cermati
Dalam Making Indonesia 4.0, dielaborasi 10 langkah prioritas dalam menghadapi era disrupsi. Diawali dengan perbaikan alur produksi material sektor hulu, desain ulang zona industri, akomodasi standar sustainability untuk memperkuat daya saing global. Kemudian, peningkatan kualitas SDM, pembentukan ekosistem inovasi, penerapan insentif investasi teknologi, harmonisasi aturan dan kebijakan. Dilanjutkan dengan, pemberdayaan UMKM, pembangunan infrastruktur digital dan menarik investasi asing.
Namun pertanyaan yang muncul adalah akankah semua itu akan bisa menjadikan SDM Indonesia berperan aktif. Dengan kata lain, dapatkah roadmap tersebut menahan laju pengangguran?
Hanya waktu yang bisa menjawab.
Penulis:
Prof. Dr. Arief Budiman
Guru Besar Fakultas Teknik UGM
Pengelola Magister Teknik Sistem (MeTSi), FT UGM
Sumber: Analisis KR, Kamis 7 Februari 2019