Analisis Penerapan Standar Industri Hijau (SIH) pada Industri Batik Dalam Rangka Mewujudkan IKM Batik Yang Berkelanjutan
Dwi Wiji Lestari
Perkembangan industri batik di Indonesia tidak terlepas dari isu-isu lingkungan, seperti inefisiensi sumber daya dan munculnya limbah dari proses produksi. Untuk menangani masalah ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian telah menerbitkan kebijakan industri hijau dengan menerapkan Standar Industri Hijau (SIH 13134:2023) bagi industri batik. SIH menyediakan pedoman yang mencakup parameter standar dan batasan dalam penggunaan sumber daya, yang menjadi acuan bagi pelaku industri. Kebijakan ini memerlukan evaluasi guna memastikan pemahaman dan implementasinya di lapangan. Evaluasi ini menjadi sangat penting mengingat urgensi dari penerapan industri hijau di seluruh sektor industri sebagai upaya mendorong daya saing produk industri nasional sekaligus upaya pencapaian green industry secara global.
Penelitian ini bertujuan untuk mencapai beberapa hal, yaitu pertama, mengetahui data proses produksi di Industri Kecil dan Menengah (IKM) batik, serta memahami alur material yang melibatkan bahan baku, energi, dan limbah yang dihasilkan. Kedua, mengevaluasi tingkat pencapaian kinerja hijau di IKM Batik berdasarkan SIH yang ditetapkan. Ketiga, mengidentifikasi strategi optimal untuk meningkatkan kinerja hijau dan memenuhi kriteria yang tercantum dalam SIH. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan wawancara di lima IKM batik. Proses analisis data dimulai dengan memvisualisasikan aliran material dan energi pada setiap tahapan produksi menggunakan diagram Sankey. Evaluasi terhadap penerapan SIH difokuskan pada aspek teknis, yakni bahan baku, bahan penolong, energi, air, limbah, dan emisi CO2. Rekomendasi strategi peningkatan kinerja hijau pada IKM dirumuskan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan visualisasi data melalui diagram Sankey, air merupakan bahan baku terbesar dalam produksi batik, sementara konsumsi energi tertinggi berasal dari kayu bakar yang digunakan dalam proses pelorodan, dan limbah cair mendominasi jenis limbah yang dihasilkan dalam keseluruhan proses produksi. Evaluasi kinerja hijau menunjukkan bahwa ada tiga aspek teknis SIH yang belum sepenuhnya dipenuhi oleh kelima IKM batik, yaitu aspek energi pada parameter konsumsi energi bauran spesifik (KEB), aspek air pada parameter rasio penggunaan air daur ulang (RDUA), dan aspek pengelolaan limbah. Pada aspek energi, dua IKM tercatat melampaui batas maksimum KEB yang ditetapkan sebesar 67,02 GJ/ton produk, dengan masing-masing nilai sebesar 82,93 GJ/ton dan 71,02 GJ/ton produk. Sementara itu, pada aspek air, terdapat satu IKM yang belum memenuhi standar RDUA sebesar 30%, yaitu hanya mencapai 22%. Berdasarkan hasil pemilihan strategi peningkatan capaian kinerja hijau dengan metode AHP, strategi utama untuk meningkatkan efisiensi konsumsi energi adalah melalui pemantauan dan evaluasi energi pada setiap tahap proses produksi, sementara strategi utama untuk meningkatkan rasio penggunaan air daur ulang adalah dengan pemantauan dan pengelolaan penggunaan air dalam proses produksi.
Kata kunci: batik, industri batik, industri hijau