Eriko Arvin Karuniawan
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri No. 49 tahun 2018 mengenai penggunaan PLTS atap yang dapat tersambung dengan jaringan PLN. Tujuan dari kebijakan ini adalah mendorong penggunaan energi terbarukan dalam usaha mengurangi emisi gas karbon. Secara umum kebijakan ini memuat persyaratan dan prosedur pemasangan PLTS Atap dari para pelanggan PLN.
Dalam rangka pembangunan gedung perkantoran 4 lantai Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM yang akan menerapkan konsep green building, perlu dilakukan analisis tekno-ekonomi untuk mengetahui kelayakan pemasangan PLTS Atap.
Dengan adanya tren masa depan di mana PLTS juga dapat terintegrasi dengan bangunan (Building Integrated Photovolatic), maka juga akan dilakukan simulasi berupa sistem BIPV Jendela dan BIPV Façade (dinding bangunan) untuk mengetahui performa dan kelayakan ekonominya.
Besaran potensi energi surya yang dapat memenuhi kebutuhan gedung PSLH yang memiliki beban 485,32 kWh/hari dengan puncak beban 94,14 kW adalah 31.1% jika menerapkan PLTS Atap; 4,98% jika menggunakan BIPV jendela; dan 25,74% jika menggunakan BIPV Façade.
Dari simulasi yang telah dilakukan nilai biaya pembangkitan (LCOE) energi surya dari PLTS Atap sebesar Rp1.406,00/kWh, BIPV Jendela sebesar Rp16.476,99/kWh, dan BIPV Façade sebesar 10.892,73/kWh. Dari semua simulasi yang dilakukan, hanya simulasi PLTS Atap yang layak dilakukan karena nilai LCOE yang lebih rendah dari nilai COE jaringan, walaupun memiliki nilai payback yang sangat lama yaitu 116 tahun dalam upaya penghematan.
Kata kunci: Energi Terbarukan, Building Integrated Photovolatic, SAM, HOMER